Minggu, 01 Mei 2011

Saatnya Mahasiswa Mengusung Gerakan Pemikiran

           Kata “mahasiswa” memiliki makna yang mendalam sesuai dengan eksistensinya. Menurut KBBI mahasiswa adalah orang yang belajar diperguruan tinggi. Definisi yang lebih luas lagi mengatakan bahwa mahasiswa adalah sekumpulan manusia intelektual yang akan bermetamorfosa menjadi penerus tonggak estafet pembangunan di setiap negara, dengan intelegensinya diharapkan bisa mendobrak pilar-pilar kehampaan suatu negara dalam mencari kesempurnaan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta secara moril akan dituntut tanggung jawab akademisnya dalam menghasilkan “buah karya” yang berguna bagi kehidupan lingkungan.
Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat) merupakan kewajiban besar bagi setiap mahasiswa, dengan kewajiban besar yang ada semestinya mahasiswa sebagai benteng moral masyarakat memiliki cita-cita yang besar pula. Harusnya cita-cita mahasiswa bukan cita-cita yang orientasinya terlalu egosentris. Belajar yang baik, dapat gelar cum laude, tamat cepat dengan prestasi segudang, dapat kerja enak, nikah, punya anak, hidup senang dengan fasilitas mewah, dan menikmati hari tua dengan tenang tanpa beban hidup. Egois sekali rasanya sebagai mahasiswa jika memiliki cita-cita seperti ini, tanpa berfikir kontibusi apa yang dapat diberikan untuk perbaikan bangsa ini, mengingat kondisi Indonesia yang sedang carut marut.
Posisi mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang mengenyam jenjang pendidikan tertinggi menuntut mahasiswa untuk dapat memahami dan mengaplikasikan perannya sehingga dapat memberikan perubahan signifikan bagi moral masyarakat, karena mahasiswa dipandang sebagai entitas intelektual yang memiliki status diatas stratifikasi sosial. Mengingat peran penting itu, mahasiswa harus terlibat secara intelektual dan emosional terhadap seluk beluk permasalahan bangsa saat ini. Mahasiswa harus merasakan permasalahan bangsa sekaligus memberikan kontribusi secara intelektual. Keterlibatan secara intelektual dan emosional tidak mungkin tercapai jika tidak ada budaya membaca, menulis, dan juga diskusi.
          Tak dapat dipungkiri bahwa setiap perubahan besar di negeri ini adalah hasil pergerakan mahasiswa bahkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan tidak lepas dari perjuangan mahasiswa sehingga 20 Mei 1908 merupakan kelahiran organisasi pemuda dan mahasiswa bernama Boedi Oetomo. Runtuhnya rezim Soeharto tahun 1998 juga hasil pergerakan mahasiswa. Namun kini, tersimpan harapan dalam gerakan mahasiswa, untuk tidak hanya mengandalkan solusi “jalanan” alias turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutannya. Artinya, harus ada perubahan pola gerakan dari “jalanan” ke pemikiran. Turun ke jalan memang diperlukan, tetapi jangan terjebak pada aksi-aksi demonstrasi saja. Biasanya aksi-aksi demonstrasi lebih bersifat reaktif daripada menyodorkan solusi strategis.
 Kini saatnya mahasiswa mengusung gerakan pemikiran, yaitu membaca dan menulis. Jujur diakui bahwa budaya menulis masih sangat rendah di kalangan mahasiswa. Hanya segelintir mahasiswa yang menulis, baik dipublikasikan lewat media massa maupun dalam bentuk buku.. Bahkan, tulisan-tulisan di media massa jarang berasal dari mahasiswa. Asmono Wikan dalam bukunya Masa Depan Pers Indonesia, tantangan Ekonomi Politik, dan Teknologi, secara empiris membuktikan kedigdayaan koran-koran daerah. Sebanyak 91,4% responden membaca koran daerah, sedangkan yang membaca koran nasional (baca:koran yang terbit dari Jakarta) adalah 8,6%. Pada kelompok responden remaja, membaca koran daerah sebanyak 91,2% dan hanya menyisakan 8,8% untuk surat kabar nasional. Begitu juga halnya dengan kelompok responden dewasa 8,6% membaca surat kabar nasional dan 91,4% membaca surat kabar daerah. Dari survey ini membuktikan bahwa koran daerah mesti dituntut untuk menyajikan yang terbaik dari setiap pemberitaannya. Hal ini menjadi lahan strategis bagi mahasiswa untuk dapat merekonstruksi perannya sebagai penyambung lidah masyarakat. Sehingga, suara rakyat dapat terwakilkan melalui tulisan yang dibuat mahasiswa.
         Hampir di setiap gerakan mahasiswa, media jurnalistik kurang terurus dengan baik. Dengan demikian, gerakan mahasiswa perlu melakukan perubahan pola gerakan dari “jalanan” ke pemikiran meskipun tidak meninggalkan aksi demonstrasi sama sekali. Gerakan mahasiswa tidak melulu menampilkan aksi-aksi demonstrasi, tetapi juga menumbuh suburkan budaya menulis untuk menyampaikan aspirasi dan pemikiran. Implikasi dari rendahnya minat baca dan tulis mahasiswa terlihat dari kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan Indonesia belakangan ini jauh tertinggal dari negara-negara tetangga. Melihat dari survei Times Higher Education Supplement (THES) 2009 perguruan tinggi Indonesia baru bisa menjebol deretan 250 yang diwakili oleh Universitas Indonesia, kualitas ini berada di bawah prestasi Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yang menempati urutan 185. Kemudian pada tahun 2010 menurut survei THES dari 3000 unversitas di dunia, ITB baru berhasil berada pada urutan 927 dan sekaligus menjadi perguruan tinggi top di Indonesia. Rendahnya minat baca di Indonesia ikut memicu kekerasan dan anarkisme yang mementingkan kinerja otot daripada kinerja pikiran atau otak, karena otak yang tidak terasah cendrung melahirkan tindakan kurang pertimbangan dan dangkal analisis. Oleh sebab itu, meningkatnya kinerja penyelesaian masalah melalui kekerasan di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh ketidakterasahan otak melalui membaca. Jadi, tidak mengherankna jika tindakan demonstrasi mahasiswa Indonesia terkadang bersikap anarkis.
          Untukmu wahai mahasiswa : Bangkitlah nasib bangsa ini ada di tanganmu Mari bangun kembali “budaya-budaya intelektual yang hilang dari rimbanya”. Wallahu a’lam, bish-shawab.