Jumat, 22 Juli 2011


                                                           HAN : Bukan Sekedar Ceremonial
 
Setiap orang pasti pernah merasakan jadi anak-anak, meskipun indahnya masa anak-anak setiap orang berbeda-beda. Anak bagai tumbuhan baru yang harus dirawat dan dijaga agar pertumbuhannya sempurna. Keistimewaan hidup menjadi anak-anak diabadikan dalam hari penting yang diperingati setiap tahunnya, yaitu Hari Anak Nasional.

Hari Anak Nasional (HAN) diadakan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 44/1984 tentang Hari Anak Nasional, telah ditetapkan tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Peringatan HAN diselenggarakan setiap tahun sejak 1986 sampai sekarang. Peringatan HAN pada hakekatnya merupakan momentum yang penting untuk menggugah kepedulian maupun partisipasi seluruh Rakyat Indonesia dalam menghormati dan menjamin hak-hak anak tanpa diskriminasi, memberikan yang terbaik bagi anak, menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan perkembangan anak serta menghargai pendapat anak. Hari Anak Nasional diperingati mulai di tingkat Pusat, Daerah dan Perwakilan RI di Luar Negeri. Pelaksanaan Hari Anak Nasional dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) yang setiap tahunnya akan menunjuk 1 Departemen/Kementerian teknis secara bergantian sebagai Penyelenggara Hari Anak Nasional.

 Namun sayang, acara-acara yang ada tiap tahunnya terlihat hanya sebatas ceremonial belaka, perlombaan menggambar, menulis puisi, menyanyi atau jenis perlomabaan lain untuk anak-anak, tanpa ada imbas yang jelas setelah perigatan HAN, lebih parah lagi terkadang HAN dijadikan ajang janji buat para “pengumbar janji”, padahal kondisi anak Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Berdasarkan data dari Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak (KKSP) sepanjang tahun 2011 ini terdapat 15 kasus diskriminasi anak di bidang pendidikan. Di saat Indonesia, pemerintah Sumatera Utara, melakukan peringatan puncak hari anak nasional, dengan mengundang begitu banyak anak-anak dari sekolah dan mengedepankan cerdas sebagai salah satu sub-tema Hari Anak Nasional namun pada belahan lain di bumi Sumatera Utara masih terjadi diskriminasi pada anak-anak di dunia pendidikan.

 Direktur Eksekutif Yayasan KKSP, Muhammad Jailani memaparkan sebuah contoh kasus tentang hal ini. Ketika seorang anak ingin mendaftar di satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kota Padangsidimpuan dengan alasan anak tersebut penderita cacat pada bagian kaki. Pihak sekolah menyatakan penolakan tersebut berdasarkan pada SK Walikota Padangsidimpuan. Tentu ini pelanggaran pada hak anak dalam pendidikan. Sejatinya UUD 1945 dan Konvensi Hak Anak, dan juga UU Sistem Pendidikan Nasional menjamin tak ada diskriminasi dalam pendidikan. Belum lagi kasus kekerasan terhadapa anak. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat sebanyak 1.826 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di berbagai daerah sejak Januari hingga Mei 2010, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Kasus penjualan anak dibawah umur, kasus-kasus eksploitasi anak dan berbagai macam kasus lain seputar anak.

Bukan harapan semu dan tak bisa dipungkiri lagi bahwa ditangan anak-anaklah masa depan bangsa ini. Bagimana bangsa ini bisa maju ditangan para generasi yang terlahir dan hidup dalam era kemutakhiran dan kecanggihan teknologi yang tak terbendung. Anak-anak Indonesia bukan hanya terkepung oleh derasnya arus teknologi, tapi juga dihadapkan dengan kemunduran nilai-nilai akhlak. Isu korupsi yang membudaya, hutang negara yang semakin besar jumlahnya. Ini menjadi beban anak-anak yang kelak menjadi penerus masa depan bangsa bahkan sebelum ia lahir kedunia. Meneyedihkan.
HAN bukan hanya milik anak-anak orang kaya yang mampu membayar guru privat, guru ngaji atau segala bentuk guru. HAN juga milik anak-anak Indonesia yang hidup dijalanan, jika mereka belum merasakan indahnya hidup menjadi anak-anak seperti kebanyakan anak-anak lain, pantaskah HAN dikatakan berhasil? Sebuah pertanyaan besar buat negeri ini. Islam mengajarkan bahwa anak adalah anugrah, titipan illahi yang harus disyukuri, mungkin ini yang diadopsi oleh negeri ini, hingga keluarlah UU bahwa “ anak jalanan dan fakir miskin dipelihara oleh negara”. Tapi nyatanya?

Ini menjadi PR kita bersama, tak hanya pemerintah. Mahasiswa juga mampu berbuat sesuatu, tak hanya sekedar menuntut pemerintah dan teriak-teriak dijalan. Mulai saja dengan orang terdekat.. Tugas besar buat para orang tua atau yang akan menjadi orang tua. Setiap orang tua akan diminta pertanggung jawaban atas apa yang diajarkan untuk anaknya, mendidik anak bukan hanya dengan kekerasan tapi mengajari mereka dengan ilmu dan amal. Dengan didikan sejak dini semoga masa depan anak-anak Indonesia lebih membawa perubahan kepada bangsa Indonesia.

Selamat Hari Anak Nasional, 23 Juli 2011. Semoga anak-anak Indonesia tak ada lagi yang tak sekolah, tak ada lagi yang tak kelaparan, tak ada lagi yang melepas masa anak-anaknya begitu saja. Semoga ini bukan harapan semu... Ya Robb, lindungi kami semua, anak-anak Indonesia, juga anak-anak di negeri lainnya.



 

Jumat, 15 Juli 2011

Lembaga Dakwah Kampus se-Indonesia Mendukung Freedom Flotilla II

BISMILLAHIROHMAANIRROHIIM

            Berkaitan dengan misi kemanusiaan “Freedom Flotilla II” yang kini tengah berjuang untuk berlayar ke Jalur Gaza guna menghentikan blokade zionis yahudi atas Jalur Gaza. Namun saat ini kapal-kapal yang tergabung dalam misi mulia tersebut ditahan di pelabuhan Yunani oleh otoritas pemerintahan Yunani.
     Maka kami lembaga dakwah kampus se-Indonesia yang tergabung dalam Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) menyatakan sikap sebagai berikut :
1. Mendukung penuh misi kemanusiaan armada Freedom Flotilla II untuk mengakhiri blokade zionis Yahudi atas jalur Gaza.
2. Mengecam tindakan Pemerintah Yunani yang menahan kapal-kapal yang tergabung dalam Freedom Flotilla II di pelabuhannya.
3. Menuntut pemerintah Yunani untuk menghentikan kebijakannya menghalangi Freedom Flotilla II dan membebaskan kapten kapal “The Audacity of  Hope” yangditangkap.
4. Menyerukan kepada masyarakat Indonesia dan dunia untuk senantiasa mendukung upaya-upaya terhadap pembebasan Palestina.

Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan.”(QS. Al-Anfal [8] : 72)

Yoyakarta, 6 Juli 2011
BK Isu Dunia Islam
Pusat Komunikasi Nasional
FSLDK Indonesia

Aksi mendukung Freedom Flotilla II
9-10 Juli 2011 serentak se-Indonesia.
CP :
Arif Nurhayanto (085235396568)

Sabtu, 09 Juli 2011

Zona Mahasiswa

RENOVASI MAHASISWA MENGHADAPI PERSAINGAN BANGSA


            Pernah suatu ketika saya mendapat e-mail dari salah seorang teman di Makasar. Beliau menceritakan tentang kekecewaannya pada Perguruan Tinggi Islam yang baru dimasukinya. Ironis sekali, ketika kenyataan yang dihadapinya tidak sesuai dengan yang diharapkannya.  Baru satu bulan menghirup nafas sebagai mahasiswa beliau telah dihadapkan pada peristiwa yang sangat memalukan. Peristiwa ini terjadi di Makasar, pelaku dari peristiwa ini adalah seorang mahasiswa dari Perguruan Tinggi yang sama dengan beliau, pada saat itu mengenakan jas almamater hijau sambil berorasi  dalam suasana demonstrasi. Mahasiswa yang berorasi tadi menguatkan dan memberi semangat pada mahasiswa lain yang memukuli salah seorang profesor yang saat itu dalam kondisi sakit hendak diantar ke rumah sakit, hanya kerena anak profesor hendak memindahkan pagar penghalang jalan utama karena  buru-buru mengantar sang profesor ke rumah sakit. Sungguh memalukan!
            Pasca reformasi brutalisme di kampus kian menjadi-jadi bagai bola api menggelinding tak karuan dan meletus kemana-mana. Tawuran antar mahasiswa sekampus dan antar Perguruan Tinggi, dosen pukul mahasiswa atau sebaliknya, pembakaran dan pengrusakan kampus sendiri menjadi konsumsi yang “mau” atau “tidak” harus dinikmati. Belum lagi dengan kegiatan OSPEK yang sangat tidak manusiawi. Padahal, kegiatan OSPEK yang dilakukan juga nggak ada sangkut pautnya dengan mata kuliah yang akan digeluti. Menjadi lebih aneh lagi karena fenomena  ini cepat menyebar pada hampir setiap Perguruan Tinggi di Indonesia bagai Volvariella Volvaceae yang berkembang di musim hujan. Beginikah sebenarnya mahasiswa?
 

            Kalau dulu orang berkelahi, sentilannya seperti ini, “Kamu ini (maaf) kayak supir angkot saja”. Nah, kalau sekarang orang berkelahi sentilannya “Kamu ini kayak mahasiswa saja” . Tidak heran jika pencitraan buruk kampus telah membunuh animo para orangtua untuk menyekolahkan anaknya ke Perguruan Tinggi, terlepas dari ketidakmampuan finansial. Status mahasiswa tidak lagi menjadi sesuatu yang luar biasa di masyarakat dibandingkan masa Orla maupun Orba. Kalau mahasiswa tidak lagi bisa dijadikan panutan, teladan, lalu mau dibawa kemana nasib bangsa ini?

            Menjadi pertanyaan besar dan harus diselesaikan dari fenomena yang terjadi adalah : Apa fungsi dan peran mahasiswa? Bagaimana melakukan renovasi dunia mahasiswa menuju persaingan bangsa ?


Fungsi dan Peran Mahasiswa
            Menyedihkan “memang” melihat dunia mahasiswa saat ini, tapi betapa tak gampang untuk menggambarkan profil mahasiswa yang ideal. “Sadar” atau “tidak” sebenarnya kata “mahasiswa” memiliki makna yang mendalam sesuai dengan eksistensinya. Menurut KBBI mahasiswa adalah orang yang belajar diperguruan tinggi. Definisi yang lebih luas lagi mengatakan bahwa mahasiswa adalah sekumpulan manusia intelektual yang akan bermetamorfosa menjadi penerus tombak estafet pembangunan di setiap negara, dengan intelegensinya diharapkan bisa mendobrak pilar-pilar kehampaan suatu negara dalam mencari kesempurnaan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta secara moril akan dituntut tanggung jawab akademisnya dalam menghasilkan “buah karya” yang berguna bagi kehidupan lingkungan. (www.google.com).
            Posisi mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang mengenyam jenjang pendidikan tertinggi memiliki tiga peran strategis dalam bangsa ini. Pertama sebagai benteng moral, hal ini kedengarannya sepele dan sederhana, bahkan orang yang menggaungkannya disebut sok alim atau sok moralitas. Jika mahasiswa memahami dan mengaplikasikan peran ini, maka akan memberikan perubahan signifikan bagi moral masyarakat, karena mahasiswa dipandang sebagai entitas intelektual yang memiliki status diatas stratifikasi sosial. Kedua sebagai agent of change, peran strategis ini menjadikan mahasiswa sebagai titik tolak perubahan kondisi masyarakat kearah yang lebih baik, lebih bermartabat menuju bangsa Indonesia yang berkualitas.  Ketiga, sebagai iron stock (cadangan keras), artinya mahasiswa sebagai calon pengganti pemimpin hari ini di masa yang akan datang . Imaji futuristik tentang kebudayaan ideal sesungguhnya akan segera terwujud, cepat atau lambat. Asalkan dari sekarang berbenah dan bersiap menggantikan pejabat korup atau kepala daerah dan anggota dewan yang tak punya ijazah.
Lain di bibir lain pula di hati. Agaknya perumpamaan ini yang cocok ditujukan untuk mahasiswa zaman sekarang, peran mahasiswa sebagai pelaku dalam gerakan pembaharuan  tak sesuai dengan kenyataan yang ada.  Tri Dharma Perguruan Tinggi  (pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat) yang seharusnya dilakukan mahasiswa kini hanya menjadi kenangan belaka. Arus perubahan zaman yang deras telah menghanyutkan mahasiswa bangsa ini pada buaian ambisi pribadi, lebih parah lagi kondisi ini di dukung oleh perguruan tinggi dengan gembira ria, misalnya janji manis Perguruan Tinggi yang dapat memperkerjakan mahasiswanya di perusahaan multi nasional setelah lulus, bahkan ada yang menawarkan lebih. Tidak salah jika “Perguruan Tinggi” diganti dengan “Perguruan Cari Duit”. Mahasiswa di cetak untuk menjadi agen pekerja siap pakai. Kalau sudah begini, “apa bedanya pelajar dengan pekerja?”.

Renovasi Dunia Mahasiswa
            Sudah saatnya merubah dunia mahasiswa yang bebas tanpa batas, mengingat peran, fungsi serta kedudukannya yang begitu tinggi di masyarakat. Pembenahan kehidupan bangsa dimulai dari pembenahan Sumber Daya Manusia (SDM). Percaya atau “tidak”, daya saing bangsa sangat ditentukan oleh kualitas SDMnya.
            Pada tahun 2008 tingkat daya saing bangsa Indonesia berada di peringkat 55, padahal pada tahun 2007, Indonesia menempati posisi 54 dari 132 negara (World Economic Forum). Berbagai ketertinggalan di hampir setiap sendi kehidupan bangsa ini menjadi faktor penurunan daya saing ini. Mulai dari tingkat kemiskinan yang tak kuncung turun, tingkat investasi yang belum optimal, praktik politik yang tidak sehat, kasus cicak vs buaya, susno vs polri yang menggambarkan praktik dunia hukum yang belum tertata rapi, belum lagi kondisi kesehatan masyarakat yang memprihatinkan. Menjadi tugas berat bangsa ini untuk mengejar ketertinggalan ini dan mahasiswa sebagai bahan bakar yang paling memungkinkan digunakan oleh bangsa ini untuk mengejar ketertinggalan itu. Indonesia harus mengejar ketertinggalan itu dengan cepat, bayangkan saja negara lain bergerak dengan motor bermesin 300 cc, plus peralatan yang serba baru, sedangkan Indonesia menggunakan motor bermesin 90 cc dengan rusak di sanan-sini.
            Berbicara tentang pembangunan daya saing bangsa, maka berbicara tentang kualitas SDM. SDM yang berkualitas diperoleh dari proses pengolahan yang baik. Untuk merenovasi kehidupan mahasiswa Indonesia saat ini menuju persaingan bangsa yang semakin menggila maka perlu di lakukan strategi khusus. Pertama merenovasi kehidupan kampus, ada mahasiswa pasti ada kampus. Mengubah paradigma Perguruan Tinggi dari mengajar jadi mendidik. Sudah seharusnya membekali keluaran perguruan tinggi dengan etika moral yang cukup, bukan dibiarkan keluar sebagai ilmuan atau teknokrat belaka. Mahasiswa hanya di beri materi kuliah, akhirnya keluar sebagai orang yang materialistis, bukannya jadi mahasiswa “plus” malah jadi mahasiswa”fulus”. Mahasiswa diberi ilmu pengetahuan bebas nilai dan membiarkan mahasiswa mengemas ilmu yang ada dengan moralnya sendiri. Akhirnya, menghalalkan segala cara demi meraih cita-citanya, gusur ini gusur itu, sikut sana sikut sini, bakar sana bakar sini, mahasiswa demdam dengan dosen bahkan sebaliknya. Dengan otonomisasi yag diberikan pemerintah kepada Perguruan Tinggi, seharusnya Perguruan Tinggi membuat regulasi internal yang membuat Perguruan Tinggi lebih bermartabat. Pejabat di Perguruan Tinggi harus sadar bahwa kampus adalah laboratorium sosial yang melahirkan para pengubah nasib bangsa ini yang jujur, bermoral, adil dan cerdas.
            Kedua merenovasi kurikulum, pembentukan kualitas SDM sangat ditentukan oleh sistem pendidikan. Kualitas SDM dapat diukur dari aspek-aspek kecakapan hidup. Untuk itu pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup sangat penting untuk diimplementasikan guna membangun daya saing bangsa. Perlu adanya pengembangan pendidikan kecakapan hidup (life skill) pada setiap mata kuliah yang diberikan, meskipun tidak tertuang secara eksplisit dalam kurikulum (hanya sebagai substansi non instruksional) namun renovasi ini perlu menuju pendidikan yang unggul dan siap maju di arena persaingan. Dengan adanya pendidikan kecakapan hidup seseorang mau dan berani menghadapi problema hidup secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehinga akhirnya mampu mengatasinya. Kecakapan hidup akan menumbuhkan sikap kepekaan sosial. Dengan perannya sebagai bagian dari masyarakat “mau” atau “tidak” mahasiswa dihadapkan pada realita. Realita tentang kehidupan bangsanya yang menjadi bagian hidupnya juga. Realita inilah yang akan menjadi dasar tindakan selanjutnya.
            Ketiga merenovasi konsep berfikir. Penanaman idealisme berfikir kemahasiswaan, tanggung jawab sebagai mahasiswa dan generasi penerus bangsa, pemahaman akan kompleksitas permasalahan bangsa, pembangunan karakter mahasiswa, serta pembekalan kemampuan manajerial dan kepemimpinan. Pembangunan konsep dan koneksi mahasiswa dalam dunia kemahasiswaan masa kini yang semakin bergerak ke arah pola hidup hedonis dan konsumtif, bukanlah sebuah tugas yang mudah. Mahasiswa adalah pembuat arus, bukan pengikut arus. Mahasiswa, sebagai kaum terpelajar, diharapkan membuat arus baru yang positif, bersama masyarakat yang dididiknya menjadi masyarakat bermartabat dan sama tinggi dengan masyarakat dunia lainnya. Adalah tidak tepat bila kesempatan untuk memperoleh pendidikan – kesempatan yang tidak semua orang memilikinya – hanya membawa mahsiswa dalam kestagnanan. Tapi tentu saja di atas segalanya, adalah sebuah kebanggaan bagi lembaga mahasiswa hari ini untuk menjadi tungku bagi matangnya buah pemikiran mahasiswa itu agar bangsa ini siap menghadapi persaingan
            Keempat merenovasi peran social kontrol. Peran mahasiswa sebagai social kontrol perlu di tinjau ulang, terkadang niat suci mahasiswa untuk mengawasi kebijakan pemerintah ditunggangi oleh oknum-oknum tertentu yang terkadang merupakan barisan sakit hati dari pemerintahan yang digugat. Memang pada dasarnya mahasiswa adalah makhluk dewasa yang bisa membedakan “benar” atau”salah’’ secara normative, namun terkadang sikap dewasa ini tercemar oleh “mikroba” yang begitu cepat bergerak di alam pikiran mahasiswa sehingga social kontrol ini hanya dijadikan tameng untuk kepentingan pribadi.
            Kelima merenovasi pengabdian mahasiswa. Menjadi mahasiswa yang cerdas itu perlu, tapi itu saja tidak cukup, masyarakat tidak butuh mahasiswa yang cerdas dan menjuarai banyak olimpiade, bila akhirnya hanya peduli pada diri sendiri. Akan tetapi masyarakat kita lebih butuh kaum terpelajar yang peduli akan sesamanya dan berdasarkan ilmu yang dimilikinya, mampu berbuat sesuatu untuk mengeluarkan bangsanya dari jerat ketidaktahuan, kemiskinan, dan segala macam bentuk penjajahan.
            Indonesia masa depan akan dihadapkan pada persaingan bangsa yang lebih kuat. Bangsa ini butuh kendaraan yang bisa menuju jalan berkelok, terjal dan menanjak agar sampai pada efficiency driven, tidak selamanya berada pada posisi key driven. Untuk itulah dinutuhkan perubahan sosial. Perbuahan sosial merupakan akumulasi dari perubahan individu-individu. Sehingga perubahan sosial tidak akan tercapai selama belum adanya perubahan-perubahan dalam diri individu. Memang adakalanya perubahan dapat dicapai hanya dengan beberapa individu yang berubah saja, namun perubahan tersebut tidak akan bertahan lama karena nantinya individu-individu yang belum berubah akan mengakumulasikan kekuatan untuk menentang perubahan tersebut. Perubahan juga tidak akan berlangsung dengan baik apabila digerakkan oleh orang-orang yang dirinya sendiripun belum berubah. Perbaikan yang ingin dicapai tidak berhasil dengan baik apabila yang ingin melakukan perbaikan tersebut tidak memperbaiki dirinya terlebih dahulu, ibarat menyuruh seseorang tetapi dia sendiri tidak melakukannya. Perubahan yang signifikan akan membawa kesiapan untuk menuju persaingan bangsa.