HAN : Bukan Sekedar Ceremonial
Setiap orang pasti pernah merasakan jadi anak-anak, meskipun indahnya masa anak-anak setiap orang berbeda-beda. Anak bagai tumbuhan baru yang harus dirawat dan dijaga agar pertumbuhannya sempurna. Keistimewaan hidup menjadi anak-anak diabadikan dalam hari penting yang diperingati setiap tahunnya, yaitu Hari Anak Nasional.
Hari Anak Nasional (HAN) diadakan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 44/1984 tentang Hari Anak Nasional, telah ditetapkan tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Peringatan HAN diselenggarakan setiap tahun sejak 1986 sampai sekarang. Peringatan HAN pada hakekatnya merupakan momentum yang penting untuk menggugah kepedulian maupun partisipasi seluruh Rakyat Indonesia dalam menghormati dan menjamin hak-hak anak tanpa diskriminasi, memberikan yang terbaik bagi anak, menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan perkembangan anak serta menghargai pendapat anak. Hari Anak Nasional diperingati mulai di tingkat Pusat, Daerah dan Perwakilan RI di Luar Negeri. Pelaksanaan Hari Anak Nasional dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) yang setiap tahunnya akan menunjuk 1 Departemen/Kementerian teknis secara bergantian sebagai Penyelenggara Hari Anak Nasional.
Namun sayang, acara-acara yang ada tiap tahunnya terlihat hanya sebatas ceremonial belaka, perlombaan menggambar, menulis puisi, menyanyi atau jenis perlomabaan lain untuk anak-anak, tanpa ada imbas yang jelas setelah perigatan HAN, lebih parah lagi terkadang HAN dijadikan ajang janji buat para “pengumbar janji”, padahal kondisi anak Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Berdasarkan data dari Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak (KKSP) sepanjang tahun 2011 ini terdapat 15 kasus diskriminasi anak di bidang pendidikan. Di saat Indonesia, pemerintah Sumatera Utara, melakukan peringatan puncak hari anak nasional, dengan mengundang begitu banyak anak-anak dari sekolah dan mengedepankan cerdas sebagai salah satu sub-tema Hari Anak Nasional namun pada belahan lain di bumi Sumatera Utara masih terjadi diskriminasi pada anak-anak di dunia pendidikan.
Direktur Eksekutif Yayasan KKSP, Muhammad Jailani memaparkan sebuah contoh kasus tentang hal ini. Ketika seorang anak ingin mendaftar di satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kota Padangsidimpuan dengan alasan anak tersebut penderita cacat pada bagian kaki. Pihak sekolah menyatakan penolakan tersebut berdasarkan pada SK Walikota Padangsidimpuan. Tentu ini pelanggaran pada hak anak dalam pendidikan. Sejatinya UUD 1945 dan Konvensi Hak Anak, dan juga UU Sistem Pendidikan Nasional menjamin tak ada diskriminasi dalam pendidikan. Belum lagi kasus kekerasan terhadapa anak. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat sebanyak 1.826 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di berbagai daerah sejak Januari hingga Mei 2010, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Kasus penjualan anak dibawah umur, kasus-kasus eksploitasi anak dan berbagai macam kasus lain seputar anak.
Bukan harapan semu dan tak bisa dipungkiri lagi bahwa ditangan anak-anaklah masa depan bangsa ini. Bagimana bangsa ini bisa maju ditangan para generasi yang terlahir dan hidup dalam era kemutakhiran dan kecanggihan teknologi yang tak terbendung. Anak-anak Indonesia bukan hanya terkepung oleh derasnya arus teknologi, tapi juga dihadapkan dengan kemunduran nilai-nilai akhlak. Isu korupsi yang membudaya, hutang negara yang semakin besar jumlahnya. Ini menjadi beban anak-anak yang kelak menjadi penerus masa depan bangsa bahkan sebelum ia lahir kedunia. Meneyedihkan.
HAN bukan hanya milik anak-anak orang kaya yang mampu membayar guru privat, guru ngaji atau segala bentuk guru. HAN juga milik anak-anak Indonesia yang hidup dijalanan, jika mereka belum merasakan indahnya hidup menjadi anak-anak seperti kebanyakan anak-anak lain, pantaskah HAN dikatakan berhasil? Sebuah pertanyaan besar buat negeri ini. Islam mengajarkan bahwa anak adalah anugrah, titipan illahi yang harus disyukuri, mungkin ini yang diadopsi oleh negeri ini, hingga keluarlah UU bahwa “ anak jalanan dan fakir miskin dipelihara oleh negara”. Tapi nyatanya?
Ini menjadi PR kita bersama, tak hanya pemerintah. Mahasiswa juga mampu berbuat sesuatu, tak hanya sekedar menuntut pemerintah dan teriak-teriak dijalan. Mulai saja dengan orang terdekat.. Tugas besar buat para orang tua atau yang akan menjadi orang tua. Setiap orang tua akan diminta pertanggung jawaban atas apa yang diajarkan untuk anaknya, mendidik anak bukan hanya dengan kekerasan tapi mengajari mereka dengan ilmu dan amal. Dengan didikan sejak dini semoga masa depan anak-anak Indonesia lebih membawa perubahan kepada bangsa Indonesia.
Selamat Hari Anak Nasional, 23 Juli 2011. Semoga anak-anak Indonesia tak ada lagi yang tak sekolah, tak ada lagi yang tak kelaparan, tak ada lagi yang melepas masa anak-anaknya begitu saja. Semoga ini bukan harapan semu... Ya Robb, lindungi kami semua, anak-anak Indonesia, juga anak-anak di negeri lainnya.
silahkan beri komentar mengenai tulisan ini demi perbaikan bersama
BalasHapus